Di jadikan nya cerita sebagai
bagian dari materi proses belajar mengajar Hurin ‘In bukan tanpa
pertimbangan. Cerita, sebagaimana
disebutkan Robert Cole, Children: How to Raise a Moral Child, adalah
metode didaktif yang jauh lebih efektif ketimbang diskusi abstrak
tentang moral.
Orang akan lebih mudah terpanggil dengan cerita “konkret” pergumulan moral seseorang
ketimbang dengan diskusi abstrak, misalnya: Apakah kebenaran itu, apakah keburukan
itu, bisakah kita memperoleh cinta Tuhan, dan seterusnya dan sebagainya.
Dari cerita ini, setiap siswa-siswi Hurin ‘In
(atau siapapun saja) sebenarnya diajak untuk terlibat menemukan intisari
kebijaksanaan di dalamnya. Dari temuan-temuan itu diharapkan kelak mereka menjadi seorang
yang bijak bestari.
Dari cerita ini pula diharapkan
menjadi sumbangsih (sekecil apapun ia) bagi terbangunnya (meminjam istilah
Gordon W. Allport) pola beragama yang intrinsic, pola beragama yang
memandang agama sebagai comprehensive commitment dan tracking
integrative yang mengatur seluruh hidup seseorang, pola beragama yang dapat
membenamkan ruh spiritualisme didasar kedalaman hati yang dapat mengubah
dan meningkatkan kwalitas diri setiap pelakunya.
Pola beragama yang demikian
inilah yang dipastikan dapat menunjang setiap pelakunya memiliki kesehatan jiwa
dan sarat dengan kehidupan ruhaniah sebab ladang jiwanya dibasahi oleh
kepuasan-kepuasan transendental. Kehidupan yang dijalaninya pun sangat
dicita rasai oleh cita rasa ilahiah yang membuatnya sabar dan pemaaf.
Pola beragama intrinsic yang yang
mengerakkan pelakunya berusaha memilih jalan yang di pandang terbaik menurut
Allah, menyerahkan diri kepada Allah hingga akhirnya ia tidak sombong ketika
berhasil meraih cita-cita dan tidak berputus asa ketika cita-cita itu tidak
(atau belum) dapat digapainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar