PENGANTAR PENULIS
Buku ini merupakan rekaman perjalanan
dari seorang penempuh jalan sufi yang harus bertarung dengan dirinya sendiri,
dengan kebudyaan, dan peradaban kota. Anda bisa membayangkan, bagaimana seorang
kiai dengan sejumlah santri di pondok pesantren, dan punya beberapa pesantren,
yang sehari-hari dijadikan bapak dan teladan para santrinya, bahkan juga
masyarakat lingkungannya, lalu memasuki sebuah wilayah kota yang ganas, seram,
kejam, yang penuh dengan kepalsuan, tipudaya, rekayasa, KKN, dan seribu topeng
lainnya.
Kiai itu tiba-tiba tergerak untuk
memasuki wilayah tempur yang tidak lazim dalam keseharian di pesantrennya. Ia harus
melepaskan seluruh atribut kekiaiannya demi sebuah ajakan kebajikan universal
dari Allah, menuju Tuhannya. Tentu apa yang dihadapinya pasti berbeda dengan
nuansa di pesantrennya. Kiai itu pun mengubah nama samarannya dengan panggilan
akrab yang identik dengan simbol-simbol preman. Jack, nama dipilihnya. Lalu style
performance juga berubah. Tidak lagi peci hitam di kepala. Tidak juga jubah
dan surban di pundaknya. Tidak lagi membawa tumpukan kitab kuning di tangan. Bahkan
tak ada cium tangan ataupun salam tempel ala kiai.
Mengubah
cara pandang dan life style ala Jack tentu membutuhkan keberanian dan
kesatriaan moral. Dan pandangan-pandangan sufistik kiai kita ini
ternyata lebih banyak berpengaruh bear dalam menyelesaikan sejumlah konspirasi
nafsu Jakarta yang mirip dengan industri kegelapan. Vonis halal-haram,
hitam-putih, haq-bathil, yang digradualkan terhadap seluruh konspirasi
ini tidak bisa menyelesaikan masalah kehambaan dan kemanusiaan. Karena akumulasi
masalahnya begitu kompleks dari rasa dendam kesumat terhadap sistem, rasa
emosional terhadap lawan, krisis ekonomi dan psikologis, persaingan bisnis dan
persaingan prestis, lalu ketidaksiapan manusia Jakarta terhadap globalisasi,
telah bertumpuk jadi sampah Jakarta. Dan menurut kiai kita ini, perlu diurai
secara individual, kasus per kasus, agar bisa didaur ulang menjadi hamba Allah
yang baru.
Lalu kiai kita ini mendekonstruksi
dirinya. Karena menjadi sangat tidak adil jika kawasan remang-remang kota,
kawasan kumuh, kawasan anyir para pelacur, kawasan perjudian, gelandangan, dan
ruang-ruang kosong yang telah menepiskan Tuhan dari sudut kehidupan, seperti
para koruptor, mafioso, dan tukang peras rakyat, tidak dihampiri oleh penempuh
jalan Allah seperti dirinya dan yang lainnya.
Karena menurut Kiai Jack, kemunafikan
dan ketidak adilan menjadi sosok-sosok baru di zaman ini, terutama di Jakarta
dan tidak kalah jahanamnya jika kemunafikan itu mengatasnamakan agama, jubah
agama, simbol agama, untuk kepentingan pribadi, kelompok, politik, bahkan
kepentingan atas nama kebodohannya memahami agama, yang kemudian menjadi sok
agamis. Lalu begitu mudah memvonis orang lain seperti binatang yang najis,
karena dia merasa paling suci, paling dekat dengan Tuhan, paling mampu
menerjemahkan ayat-ayat. Padahal jiwanya begitu busuk, penuh ambisi, penuh
dengan limbah yang berkimia hawa nafsu, bahkan romantisme kering yang dijadikan
simbol kebanggaan religiusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar