Oleh: Ust. Badruz Zaman
Bulan Muharram termasuk salah satu
bulan yang istimewa di kalangan kaum muslimin, karena pada bulan ini banyak
kejadian-kejadian berharga yang tak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan
agama Islam, dan pada bulan ini pula banyak kejadian-kejadian yang dapat
dijadikan sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berakal.
Selain itu, bulan ini juga merupakan salah satu bulan dari
empat bulan haram, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua
belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram.”
(Qs. At-Taubah [9]: 36) Oleh karena itu, dalam
bulan Muharram ini banyak amalan-amalan yang disunahkan sebagai bentuk taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah s.w.t. dan ungkapan syukur kepada-Nya.
a.
Pelajaran di Bulan Muharram
Pada bulan Muharram ini banyak
kejadian-kejadian yang mengagumkan, dan layak kita ceritakan masa demi masa
kepada anak cucu dan keturunan kita, agar mereka mengetahuinya dan dapat mengambil
hikmahnya, sehingga ia bisa menjadi pelajaran bagi mereka. “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka
bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang
sebelum mereka?” (Qs. Ar-Ruum [30]: 9).
Di antara kejadian-kejadian pada bulan Muharram adalah:
·
Allah Menyelamatkan Musa dari Kejaran Fir’aun
Nabi Musa a.s. diutus
kepada dua golongan manusia, yaitu Bani Israil dan Fir’aun. Kalangan Bani Israil
banyak yang menerima dakwah nabi Musa, sedangkan Fir’aun sedikit pun tak mau menerima
dakwahnya. Bahkan dialah orang yang tidak menginginkan kelahiran nabi Musa,
karena dia menganggap bahwa kelahiran Musa adalah petaka bagi kekuasaannya, sehingga
dia memerintahkan para tentaranya untuk membunuh setiap anak laki-laki yang
lahir di tengah-tengah Bani Israil.
Dengan sombongnya, Fir’aun berkata kepada para
pengikutnya, “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan
(bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku, maka apakah kamu tidak
melihat(nya)? Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir
tidak dapat menjelaskan (perkataannya)?” (Qs. Az-Zukhruf [43]: 51-52) Setelah Musa memulai
dakwahnya dan Bani Israil banyak yang menjadi pengikutnya, Allah s.w.t.
mengirimkan wahyu kepadanya, agar dia membawa pergi kaumnya di malam hari untuk
menghindari serangan Fir’aun beserta para tentaranya. Allah s.w.t. berfirman, “Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di
malam hari.”
(Qs. Thaahaa [20]: 77).
Musa pun membawa kaumnya di malam hari, dia keluar dari
Mesir menuju ke arah barat, yaitu arah laut merah. Katika Fir’aun mengetahui
hal itu, dia pun memanggil semua tentara dan para pengikutnya untuk mengejar
Musa dan kaumnya. Setelah Musa dan
kaumnya sampai di laut merah, kaumnya berkata kepada Musa, “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.” (Asy-Syu’araa` [26]: 61) Namun Musa menjawab dengan
penuh keyakinan, “Sekali-kali tidak akan tersusul; Sesungguhnya Tuhanku besertaku,
kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (Asy-Syu’araa` [26]: 62).
Lantas Allah s.w.t. memerintahkan Musa untuk memukulkan
tongkatnya pada lautan itu. Allah s.w.t. berfirman, “Pukullah lautan itu
dengan tongkatmu.” (Asy-Syu’araa` [26]: 63) Maka lautan itupun
terbelah menjadi dua belas jalan sesuai dengan kelompok Bani Israil. Lautan itu
tak sedikit pun membasahi rombongan Musa. Bahkan belahan air itu menggumpal
seperti gunung-gunung yang berbaris di sepanjang jalan. Sehingga Musa dan para
pengikutnya dapat melintasinya. Setelah mereka semua keluar darinya, Fir’aun
dan para pengikutnya masuk ke dalam lautan untuk mengejar mereka, namun ketika
mereka semua berada di dalamnya, Allah s.w.t. memerintahkan lautan itu untuk
kembali seperti semula, sehingga Fir’aun dan para pengikutnya mati tenggelam.
Kejadian yang menakjubkan ini terjadi pada bulan Muharram
sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. dia berkata: Nabi s.a.w. tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang
Yahudi berpuasa pada hari Asyura, maka beliau menanyakan hal itu kepada mereka,
lalu mereka menjawab, “Sesungguhnya pada hari ini Allah memenangkan Musa dan
bani Israil atas pengikut Fir’aun hingga kami berpuasa pada hari ini untuk
menghormatinya.” Nabi s.a.w. bersabda, “Kami (kaum
muslimin) lebih utama terhadap Musa daripada kalian.” Lantas beliau
memerintahkan (para sahabat) untuk berpuasa pada hari itu. (Muttafaq alaih)
·
Awal Terbentuknya Kalender Islam
Pada masa Umar bin Khtahthab r.a. setelah penyebaran
Islam semakin meluas di segala penjuru, mulai dari barat, timur, utara hingga
selatan, serta setalah banyaknya surat yang datang kepadanya, sehingga dia
tidak mengetahui, apakah surat yang satu datang sebelum surat yang lain, maka
Umar berfikir bahwa dia harus membuat kalender. Diapun mengumpulkan para sahabat senior guna memusyawarahkan
gagasannya itu, sebagaimana kebiasaan mereka bila ada suatu masalah atau kejadian,
maka mereka akan menggelar musyawarah.
Agenda pertama dalam musyawarah itu adalah membahas
darimanakah kalender itu akan dimulai, apakah dari tahun kelahiran Nabi Muhammad
s.a.w. atau dari tahun diutusnya beliau atau dari hijrahnya beliau? Setelah mereka sepakat bahwa kalender Islam itu dimulai
dari tahun diutusnya Nabi Muhammad s.a.w. terjadi lagi perdebatan di antara
mereka. Ada yang berpendapat bahwa kalender ini dimulai dari bulan Ramadhan,
karena Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur`an.
Yang lain berpendapat bahwa kalender ini dimulai dari bulan
Rabiul Awwal, karena Rabiul Awwal adalah bulan pertama kali Rasulullah s.a.w.
menerima wahyu, dan pada bulan itu pula Rasulullah s.a.w. berhijrah. Para sahabat berkata, “Ini usulan yang bagus, namun
pada bulan ini ada kejadian yang lain, yaitu bulan ini adalah bulan Rasulullah
s.a.w. wafat.” Akhirnya mereka tidak menyetujuinya, karena mereka khawatir akan
selalu mengingat wafatnya Rasulullah s.a.w.
Kemudian mereka memilih bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam
kalender Islam, karena pada bulan ini kaum muslimin baru menyelesaikan rukun
Islam yang kelima, yaitu haji. Sehingga seakan-akan bulan Dzulhijjah adalah
bulan untuk menyempurnakan rukun Islam yang lima, kemudian pada bulan Muharram
kaum muslimin memasuki tahun yang baru.
Selain dua kejadian di
atas, banyak lagi kejadian-kejadian di bulan Muharram yang tidak mungkin
dipaparkan dengan begitu rinci dalam tulisan ini. Seperti Allah s.w.t. menerimat
tobatnya nabi Adam, mengeluarkan nabi Nuh dari perahu, dan menyelamatkan nabi Ibrahim
dari kobaran api, serta kejadian-kejadian yang lainnya.
b.
Amalan di Bulan Muharram
Amalan yang dianjurkan dalam bulan Muharram berdasarkan tuntunan
syariat sebagai berikut:
1. Puasa pada bulan Muharram secara umum
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi s.a.w.
bersabda:
أَفْضَلُ
الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلاَةُ فِى جَوْفِ اللَّيْلِ
وَأَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ صِيَامُ شَهْرِ اللهِ
الْمُحَرَّمِ.
“Shalat paling utama setelah shalat wajib
adalah shalat tengah malam, dan puasa paling utama setelah bulan Ramadhan
adalah puasa pada bulan Allah, yaitu Muharram.” (HR. Muslim).
Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharram secara
umum, mulai dari tanggal satu, dua, tiga dan seterusnya, baik puasa ini
dilakukan sebulan penuh atau sebagiannya saja berdasarkan keumuman hadits di
atas. Keutamaan puasa pada bulan Muharram, karena keutamaan waktunya dan
besarnya pahala puasa, sebab puasa adalah amalan yang paling utama disisi Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang puasa Muharram sebulan penuh, dia
menjawab, “Sebagian ulama berpendapat, puasa bulan Muharram sebulan penuh
disunnahkan, tetapi saya tidak pernah mengetahui bahwa Nabi s.a.w. berpuasa
pada bulan Muharram sebulan penuh. Puasa yang
paling banyak beliau lakukan selain bulan Ramadhan adalah puasa bulan Sya’ban,
sebagaimana hadits shahih yang diriwayatkan dari Aisyah. Namun orang
yang berpuasa pada bulan Muharram sebulan penuh tidak boleh dikatakan pelaku
bid’ah, karena hadits tentang keutamaan puasa ini juga menyimpan makna puasa
sebulan penuh, sebagaimana yang disampaikan oleh sebagian ulama.” (Masa`il
Fiqhiah Ashriah Mutanawwi’ah fil Ibadat wal Mu’amalat, 1/5).
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ صَامَ يَوْمَ
عَرَفَةَ كَانَ لَهُ كَفَّارَةَ سَنَتَيْنِ، وَمَنْ صَامَ يَوْمًا مِنَ
الْمُحَرَّمِ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ ثَلَاثُونَ يَوْمًا.
“Barangsiapa berpuasa pada hari Arafah
(tanggal 10 bulan Dzulhijjah), maka ia sebagai kafarat (penghapus) bagi
(dosa)nya selama dua tahun. Dan barangsiapa berpuasa satu hari dari bulan
Muharram, maka dalam setiap harinya dia mendapatkan (pahala seperti pahala
puasa) tiga puluh hari.” (HR.
Ath-Thabarani).
2.
Puasa
Tanggal 9, 10 dan 11 Muharram
Puasa
pada bulan Muharram yang sangat dianjurkan adalah
puasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram, sesuai dengan hadits Rasulullah
s.a.w. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. dia berkata:
قَدِمَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ فَوَجَدَ الْيَهُوْدَ يَصُوْمُوْنَ
يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَسَأَلَهُمْ عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوْا: إِنَّ هَذَا الْيَوْمَ
أَظْهَرَ اللهُ فِيْهِ مُوْسَى وَبَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى قَوْمِ فَرْعَوْنَ فَنَحْنُ
نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
نَحْنُ أَوْلَى بِمُوْسَى مِنْكُمْ. فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ.
Nabi s.a.w.
tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura,
maka beliau menanyakan hal itu kepada mereka, mereka pun menjawab,
“Sesungguhnya pada hari ini Allah memenangkan
Musa dan bani Israil atas pengikut Fir’aun hingga kami berpuasa pada hari ini untuk
menghormatinya.” Nabi s.a.w. bersabda, “Kami (kaum muslimin) lebih utama
terhadap Musa daripada kalian.” Lantas beliau memerintahkan untuk berpuasa
pada hari itu. (Muttafaq alaih).
Ibnu Abbas r.a. juga berkata:
حِيْنَ
صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَأَمَرَنَا
بِصِيَامِهِ قَالُوْا. يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُوْدُ
وَالنَّصَارَى. فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِذَا كَانَ العَامُ
الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ. فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفَّىَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Ketika Nabi s.a.w. berpuasa pada hari Asyura (10 Muharram) dan
beliau memerintahkan kami (para sahabat) untuk berpuasa pada hari itu, mereka
(para sahabat) berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia (hari Asyura) adalah
hari yang diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.” Beliau s.a.w. bersabda, “Tahun
depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada hari kesembilan.” Namun
sebelum tahun berikutnya tiba, Nabi s.a.w. wafat. (HR. Muslim, Abu Daud dan Al
Baihaqi).
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini
menegaskan bahwa puasa hari Asyura itu diganti dengan puasa pada hari
kesembilan, agar tidak serupa dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Namun menurut pendapat yang shahih, hadits ini menegaskan
bahwa selain puasa pada hari Asyura juga dianjurkan untuk berpuasa pada hari kesembilan.
Pendapat ini disampaikan oleh Asy-Syafi’i serta ulama madzhab Asy-Syafi’i,
Ahmad, Ishaq dan ulama yang lainnya, karena Nabi s.a.w. telah berpuasa pada
hari kesepuluh, dan beliau berniat untuk berpuasa pada hari kesembilan. (Syarh
An-Nawawi ala Shahih Muslim, 8/12).
Hikmah dianjurkannya
puasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram adalah agar puasanya kaum muslimin tidak
sama dengan puasanya kaum Yahudi, yaitu tanggal 10 Muharram yang lebih dikenal
dengan istilah Hari Asyura. Namun jika
seseorang tidak berpuasa pada tanggal 9 Muharram –dan hanya berpuasa pada
tanggal 10-, maka dianjurkan baginya untuk berpuasa pada tanggal 11 Muharram,
karena alasan yang sama, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
r.a. bahwa Nabi s.a.w. bersabda:
صُوْمُوْا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوْا فِيْهِ الْيَهُوْدَ,
وَصُوْمُوْا قَبْلَهُ يَوْماً وَبَعْدَهُ يَوْماً.
“Berpuasalah kalian pada hari Asyura dan berbedalah dengan kaum Yahudi
di dalamnya. Berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Jarir dan Al Baihaqi).
Berdasarkan hadits ini Asy-Syafi’i menganjurkan untuk berpuasa
dalam tiga hari berturut-turut, yaitu tanggal 9, 10 dan 11 Muharram,
sebagaimana yang telah dia jelaskan dalam Al Umm dan Al Imla`.
Kesimpulannya adalah puasa yang paling dianjurkan dalam bulan
Muharram adalah tanggal 9, 10 dan 11 Muharram. Kemudian yang lebih rendah lagi
adalah berpuasa pada tanggal 10 Muharram dan sehari sebelumnya atau sehari
sesudahnya. Kemudian yang lebih rendah dari itu adalah berpuasa hanya pada
tanggal 10 Muharram.
3.
Memperbanyak Nafkah untuk Keluarga
Diantara
amalan pada bulan Muharram, tepatnya pada hari kesepuluh atau hari Asyura
adalah memperbanyak nafkah untuk keluarga, berdasarkan hadits Nabi s.a.w.:
مَنْ وَسَّعَ
عَلَى عِيَالِهِ في يَوْمِ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ الله عَلَيْهِ في سَنَتِهِ
كُلِّهَا.
“Barangsiapa yang melapangkan (nafkah) untuk keluarganya pada
hari Asyura, Allah akan melapangkan (rezeki)nya pada tahun itu, seluruhnya.”
(HR. Ath-Thabarani, Al Baihaqi dan Abu Syaikh).
Status
hadits ini masih diperselisihkan di kalangan ulama. Namun Al Baihaqi berkata,
“Hadits ini secara kesuluruhan adalah dha’if. Tapi bila diakumulasikan,
maka status hadits ini menjadi qawi.” Al Iraqi berkata dalam Al Amali,
“Hadits ini memiliki banyak jalur periwayatan yang sebagiannya dishahihkan oleh
Al Hafizh Ibnu Nashir. Ibnu Al Jauzi memasukkan hadits ini ke dalam Al
Maudhu’at, sebab Sulaiman bin Abi Abdillah, periwayat dari Abu Hurairah
berstatus majhul (identitas tidak diketahui). Namun Al Hafizh Ibnu Hajar
menyatakan dengan tegas dalam Taqrib-nya bahwa statusnya adalah maqbul.
Dan Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam Ats-Tsiqat. Maka status hadits
ini adalah hasan, menurutnya.” (Fatawa Al Azhar, 9/256).
Terkait dengan hadits yang menyebutkan keutamaan memperbanyak nafkah pada
hari Asyura ini, Jabir r.a. berkata, “Kami menguji kebenaran hadits ini, lalu
kami mendapatinya demikian (yaitu dilapangkan rezekinya).” Abu Az-Zubair dan Syu’bah juga mengatakan demikian. (Tanzih
Asy-Syari’ah Al Marfu’ah, 2/155).
Selain amalan yang telah disebutkan di atas, ada beberapa amalan lainnya
yang dianjurkan menurut sebagian ulama, diantaranya adalah sang Mufti Makkah
dan Imam Besar Masjidil Haram, yaitu Syaikh Nawawi Al Bantani r.a. dia berkata,
“Dikutip dari sebagian ulama yang mulia bahwa amalan-amalan (yang dianjurkan)
pada hari Asyura ada 12, yaitu shalat, yang lebih utama adalah shalat Tasbih,
puasa, sedekah, memperbanyak nafkah untuk keluarga, mandi, mengunjing orang
shalih yang alim, menjenguk orang sakit, mengusap kepala anak yatim, bercelak,
menggunting kuku, membaca surah Al Ikhlas 1000 kali, dan silaturrahim. Yang ada haditsnya adalah tentang puasa dan memperbanyak nafkah
untuk keluarga. Sedangkan yang lainnya tidak ada.” (Nihayah Az-Zain,
196). (AMS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar